Home
Berita  

KELAPA SAWIT: Pranata UI Rekomendasikan Implementasi B50 Bersifat Dinamis

Dalam situasi produksi minyak sawit nasional yang relatif stagnan, peningkatan mandatori biodiesel dari B40 ke B50, perlu mempertimbangkan implikasinya terhadap keseimbangan pemenuhan kebutuhan domestik, ekspor, dan kesejahteraan petani sawit

Ki-Ka: Prof. Bustanul Arifin (Moderator), Dr. Ir. Widyono, M.Sc., Prof. Bayu Krisnamurthi, M.S., Tokoh Sawit Nasional dan Akademisi IPB University, Abra Talattov( Ekonom INDEF), Dr. Eugenia Mardanugraha (Komisioner KPPU dan Peneliti Sawit), Dr. Surjadi, SE., M.A. (Sumber: Ridwan Harahap)

Jakarta, AGRINEWS – Tim peneliti Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI) merilis kajian berjudul “Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia”.

Kajian ini, menekankan pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah untuk memperkuat agenda transisi energi hijau pemerintah.

“Kebijakan yang mempertimbangkan seluruh faktor serta parameter pada industri kelapa sawit Indonesia, secara ilmiah akan mendukung efektivitas upaya membangun kemandirian energi lewat peningkatan mandatori pencampuran biodiesel dari B40 ke B50. Penelitian kami merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan dalam industri ini mempertimbangkan seksama kapasitas produksi sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program tersebut terasakan secara menyeluruh,” ujar Surjadi, mewakili tim peneliti dalam rilisnya pada hari Jumat (17/10/2025).

Hemat Devisa, Tapi Tekan Ekspor

Saat ini, Indonesia merupakan produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 48,2 juta ton atau 54 persen dari pasokan global, serta luas areal perkebunan sekitar 16,8 juta hektare (ha).

Namun, produksi pada tahun 2025, diproyeksikan hanya mencapai 49,5 juta ton, sementara implementasi mandatori B50 menuntut peningkatan kapasitas produksi minyak sawit nasional sekitar 59 juta ton per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Stagnasi pasokan menjadi risiko utama dalam mendukung mandatori biodiesel dan daya saing ekspor.

Simulasi menunjukkan penerapan mandatori biodiesel B50 dapat menghasilkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp172,35 triliun.

Namun di sisi lain, langkah ini berpotensi menekan ekspor CPO hingga Rp190,5 triliun, angka yang justru lebih besar daripada penghematan impor.

Kondisi ini berisiko mengurangi surplus neraca perdagangan, menngurangi cadangan devisa, dan memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.

Penurunan ekspor mendorong harga CPO naik, bahkan kerap lebih mahal dari minyak nabati lain seperti kedelai, dengan selisih harga mencapai lebih dari US$100 per ton.

Sementara negara importir utama seperti India, mulai mengalihkan permintaan ke minyak kedelai dan bunga matahari sehingga impor CPO negara itu dari Indonesia diperkirakan turun ke titik terendah sejak tahun 2019/2020.

Kenaikan mandatori biodiesel dari B40 ke B50, juga berpotensi meningkatkan harga minyak goreng domestik hingga 9 persen, dan mendorong harga Tandan Buah Segar (TBS) naik sekitar Rp618/kg, seiring meningkatnya permintaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel.

Namun, di balik potensi keuntungan tersebut, penelitian menunjukkan kebijakan B50 juga menimbulkan beban fiskal baru karena kebutuhan subsidi yang semakin besar untuk menjaga keekonomian program biodiesel.

Kenaikan tarif pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO), justru menekan harga TBS di tingkat petani.

Peningkatan tarif sebesar 1 persen diperkirakan menurunkan harga TBS sekitar Rp333/kg.

Bahkan, untuk mendanai pelaksanaan B50, jika tarif ekspor dinaikkan lebih jauh hingga 15,17 persen dari sebelumnya 10 persen, tekanan terhadap harga TBS bisa mencapai Rp1.725/kg.

Dampak ini paling berat dirasakan para petani swadaya yang memiliki posisi tawar lemah dalam rantai pasok sawit.

Rekomendasi: Fleksibilitas dan Keseimbangan

Menurut Surjadi, tingkat campuran biodiesel yang optimal berada pada kisaran B35–B40.

Peningkatan Mandatori Biodiesel B40 ke B50 Perlu Pertimbangan (Sumber: Ridwan Harahap)

Alasannya, manfaat energi, ekspor, dan stabilitas harga masih seimbang sehingga tidak perlu menaikkan pungutan ekspor.

Tim peneliti merekomendasikan kebijakan tingkat bauran dinamis, yakni menyesuaikan kadar pencampuran sesuai fluktuasi harga solar, CPO, dan TBS.

Kebijakan serupa telah dilaksanakan beberapa negara seperti Brasil, Malaysia, dan Thailand yang menerapkan model fleksibilitas mandatori untuk menjaga keseimbangan antarsektor.

Kajian juga menyoroti pentingnya peran Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dalam menjaga keseimbangan alokasi dana antara subsidi biodiesel, program peremajaan sawit rakyat (PSR), dan stabilisasi harga minyak goreng.

Proporsi pendanaan yang terlalu besar untuk subsidi energi dapat mengurangi dukungan bagi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani.

Dengan hasil kajian tersebut, Pranata UI berharap dapat memberikan masukan strategis kepada pemerintah dan pelaku industri dalam merumuskan kebijakan energi yang efisien, berkeadilan, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam industri sawit berkelanjutan.

Exit mobile version