Home

FAPET UGM: Kementan Dukung Penelitian UGM, Buktikan Pakan Alami Bisa Tekan Emisi Metan

Peternakan masa depan, tidak hanya bicara soal kuantitas, tapi juga kualitas, keberlanjutan, dan keseimbangan dengan alam. Ini ditegaskan oleh Prof. Dr. Ir. Chusnul Hanin, M.Si., IPM., ASEAN Eng., dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Selasa (10/6/2025)

Pengukuhan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Ir. Chusnul Hanin, M.Si., IPM., ASEAN Eng. (Sumber: ditjenpkh.pertanian.go.id)

Yogyakarta, AGRINEWS – Peternakan masa depan, tidak hanya bicara soal kuantitas, tapi juga kualitas, keberlanjutan, dan keseimbangan dengan alam.

Ini ditegaskan oleh Prof. Dr. Ir. Chusnul Hanin, M.Si., IPM., ASEAN Eng., dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Selasa (10/6/2025).

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Agung Suganda, menyampaikan dukungan terhadap pengembangan inovasi berbasis sains yang ramah lingkungan, seperti yang disampaikan Prof. Chusnul dalam orasinya: “Fitobiotik dan Aplikasinya untuk Peternakan Masa Depan: Produktivitas, Kualitas Produk Hasil Ternak dan Emisi Metan.”

Bagi masyarakat awam, istilah fitobiotik, mungkin masih terdengar asing.

Padahal, istilah ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Fitobiotik adalah senyawa alami yang berasal dari tanaman — seperti minyak atsiri, rempah-rempah, atau ekstrak herbal — yang digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak.

Dalam dunia peternakan modern, fitobiotik dapat berfungsi sebagai pengganti antibiotik, yang selama ini banyak digunakan dalam pakan ternak untuk mendorong pertumbuhan.

Namun, penggunaan antibiotik berlebihan dapat menyebabkan resistensi antimikroba (AMR), sebuah masalah serius yang kini menjadi perhatian dunia.

Menurut Prof. Chusnul, penggunaan fitobiotik, tidak hanya berdampak pada peningkatan produktivitas ternak, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca — khususnya metana, yang banyak dihasilkan dari sistem pencernaan ruminansia, seperti sapi.

“Kita butuh ternak yang sehat, produktif, tapi juga tidak mencemari lingkungan,” ujarnya.

“Fitobiotik bisa menjadi jawaban, atas tantangan peternakan masa depan yang harus ramah lingkungan, bebas antibiotik, dan tetap memenuhi kebutuhan gizi masyarakat,” ujarnya.

Saat ini, peternakan Indonesia menghadapi berbagai tantangan.

Di satu sisi, jumlah penduduk terus bertambah dan permintaan akan protein hewani seperti daging, telur, dan susu ikut melonjak.

Di sisi lain, lahan untuk beternak semakin terbatas, tekanan terhadap lingkungan meningkat, dan masyarakat makin sadar akan pentingnya pangan yang sehat dan aman.

Kementan melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga tengah mendorong percepatan peningkatan produksi susu dan daging nasional (P2SDN) untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Untuk menyokong program MBG ini, subsektor peternakan dituntut memproduksi pangan hewani yang berkualitas, aman, dan berkelanjutan.

“Fitobiotik bisa menjadi salah satu solusi yang konkrit dan aplikatif,” ungkap Agung Suganda.

“Kita membutuhkan teknologi yang tidak hanya berpihak pada produksi, tapi juga memperhatikan aspek kesehatan, lingkungan, dan kesejahteraan hewan,” imbuh Agung.

Pidato ilmiah Prof. Chusnul bukan sekadar teori, ini adalah cermin bahwa ilmu pengetahuan terus bekerja mencari solusi untuk menjawab tantangan global—mulai dari perubahan iklim, keamanan pangan, hingga kesehatan masyarakat.

Dengan pendekatan berbasis tanaman, dunia peternakan bergerak menuju era baru yang lebih hijau dan sehat.

“Peternakan kita harus terus berkembang, bukan hanya produktif tapi juga adaptif terhadap perubahan zaman,” pungkas Prof. Chusnul.

(Sumber: ditjenpkh.pertanian.go.id)

Exit mobile version