Blitar, AGRINEWS – Kementerian Pertanian (Kementan) RI terus memperkuat sinergi dengan berbagai pihak untuk menjaga keseimbangan ekosistem perunggasan nasional, khususnya komoditas telur ayam ras.
Tahun 2025, Indonesia mencatatkan capaian membanggakan sebagai produsen telur terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Jepang, dengan potensi produksi mencapai 6,52 juta ton atau setara 104,17 miliar butir telur.
Capaian ini mencerminkan produktivitas peternak rakyat semakin baik karena peningkatan performa genetik ayam ras petelur (layer), pemanfaatan teknologi kandang tertutup (closed house), serta implementasi program unggulan seperti Ayam Merah Putih, yang mengembangkan klaster peternakan ayam di tingkat desa untuk mendukung program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dengan kebutuhan nasional sebesar 6,22 juta ton, Indonesia mencatat potensi surplus sebesar 295 ribu ton atau 4,5 persen.
Surplus ini menjadi peluang strategis untuk memperluas jangkauan program MBG, memperkuat peran UMKM peternakan, serta meningkatkan pemerataan distribusi telur antarwilayah.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Agung Suganda menegaskan, Kementan terus memantau dinamika pasar dengan pendekatan kolaboratif dan responsif.
“Produksi telur nasional mengalami peningkatan yang luar biasa. Ini adalah potensi besar yang harus dikelola dengan baik agar memberi manfaat maksimal bagi peternak dan masyarakat,” ujar Agung, saat melakukan kunjungan ke Rumah Kebersamaan Peternak Layer Mandiri di Blitar, pada hari Sabtu (19/4/2025).
Seiring meningkatnya produksi, tantangan juga muncul, khususnya terkait fluktuasi harga pascalebaran akibat penurunan permintaan sekitar 30 persen.
Harga telur di tingkat peternak mengalami tekanan, khususnya di sentra produksi.
Sebagai langkah cepat, Kementan telah mengeluarkan surat edaran tertanggal 11 April 2025 yang memperkuat pengawasan peredaran telur fertil dan infertil untuk konsumsi sesuai Permentan No. 10/2024, guna menjaga psikologis pasar terhadap tekanan harga telur.
Selain itu, Kementan juga mendorong intervensi dari perusahaan pakan (feedmill) untuk membantu peternak UMKM melalui berbagai skema dukungan agar peternak tidak melakukan panic selling saat harga telur anjlok.
Kementan juga mendorong percepatan implementasi program MBG.
Satu dapur MBG rata-rata membutuhkan 195 kilogram telur per hari, atau sekitar 3,9 ton per bulan.
Jumlah ini berpotensi menyerap hasil produksi peternak rakyat secara signifikan jika diperluas secara merata di seluruh Indonesia.
Dalam rapat koordinasi lintas kementerian, Kementan mengusulkan penyerapan telur rakyat oleh koperasi pegawai di instansi pemerintah pusat dan daerah.
Penyerapan juga diusulkan masuk dalam program Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) oleh Badan Pangan Nasional, baik untuk MBG maupun penanganan stunting.
Pemerintah daerah juga diminta memfasilitasi distribusi telur dari sentra produksi ke wilayah defisit.
Skema pertukaran dengan jagung dari daerah lain, juga sedang dipertimbangkan untuk menekan ongkos distribusi dan meningkatkan efisiensi logistik.
Kementan siap membantu memfasilitasi dari sisi teknis persyaratan lalu lintas telurnya.
Di sisi lain, peran kekompakan peternak rakyat menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas harga.
Kementan mengimbau agar para peternak, khususnya peternak layer mandiri, tidak melakukan panic selling dan secara bersama-sama menahan harga agar tetap sehat di pasar.
“Penyelesaian utama dari fluktuasi harga saat ini adalah kebersamaan dan kekompakan para peternak dalam mengatur tata niaga dan penjualan telur. Pemerintah kabupaten/kota juga sangat dibutuhkan untuk menjaga koordinasi antarpeternak agar harga tetap stabil dan peternak sejahtera,” pungkas Agung.
Dengan 95 persen produksi telur nasional berasal dari peternak mandiri, Kementan memastikan bahwa keberpihakan terhadap peternakan rakyat tetap menjadi prioritas.
Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, peternak, dan pelaku usaha, sektor unggas nasional diharapkan terus tumbuh sebagai tulang punggung ketahanan pangan Indonesia.
(Sumber: ditjenpkh.pertanian.go.id)