FAPET UGM: Membanggakan, Mujtahidah Anggriani Tambah Jumlah Guru Besar Fapet UGM

Prof. Ir. Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ekonomi Keperilakuan Produk Peternakan, pada hari Selasa (18/2) di Balai Senat Kampus UGM

Prof. Ir. Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM. (Sumber: Margiyono)
banner 120x600

Yogyakarta, AGRINEWS – Jumlah guru besar Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta terus bertambah.

Kali ini, Prof. Ir. Mujtahidah Anggriani Ummul Muzayyanah, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ekonomi Keperilakuan Produk Peternakan, pada hari Selasa (18/2) di Balai Senat Kampus UGM.

banner 325x300

Dengan pengukuhan tersebut, Mujtahidah merupakan salah satu dari 525 guru besar aktif di UGM, dan 26 dari 52 guru besar aktif di Fapet UGM.

Dalam pengukuhannya sebagai guru besar, Mujtahidah menyampaikan pidato berjudul “Transformasi Perilaku Konsumsi Pangan Produk Peternakan dalam Perspektif Ekonomi Malnutrisi”.

Mujtahidah menyatakan, konsumsi pangan bernilai tinggi (misalnya, daging, susu, dan telur) meningkat, seiring dengan meningkatnya pendapatan.

Pangan produk peternakan tersebut merupakan sumber pangan yang ‘mahal’.

Hal ini menyiratkan bahwa rumah tangga ‘miskin’ sulit untuk mengaksesnya.

“Rumah tangga dengan pendapatan yang mendekati tingkat subsisten, mengonsumsi pangan nabati dan makanan pokok bertepung dalam jumlah besar dan hanya sedikit mengonsumsi daging, susu, dan produk susu,” ujar Mujtahidah.

Di antara produk peternakan, pengeluaran untuk makanan yang lebih murah, didominasi oleh rumah tangga miskin.

Sebagai contoh, konsumsi telur lebih tinggi di daerah pedesaan miskin.

Sementara itu, seiring dengan meningkatnya pendapatan, rumah tangga akan beralih ke makanan yang lebih mahal.

“Rumah tangga berpenghasilan tinggi, mengalokasikan porsi yang lebih besar dari anggaran mereka untuk daging, selain telur. Sementara di pedesaan, keluarga pada kelompok pendapatan tertinggi, membelanjakan lebih banyak porsi anggaran pangan mereka (5,67 persen) untuk daging, dibandingkan dengan rumah tangga pada kelompok pendapatan terendah (1,49 persen),” ungkap dosen Laboratorium Agrobisnis Peternakan UGM itu.

Harga yang tinggi ini, menyebabkan orang memilih makanan protein hewani dengan kualitas yang lebih rendah.

Dengan kondisi tersebut, maka status gizi dapat diindikasikan dengan mengestimasi elastisitas permintaan komoditas pangan hewani.

Kekurangan protein hewani, merupakan salah satu penyebab rendahnya status gizi, dan dalam jangka panjang akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia.

“Di sinilah teori perilaku menyarankan, banyak pilihan kebijakan lain yang dapat memberikan dampak besar, tanpa membatasi pilihan dalam arti yang sebenarnya,” imbuhnya.

Di akhir pidatonya, Mujtahidah melihat kajian untuk mengukur elastisitas pengeluaran/pendapatan diperlukan untuk memperkirakan, sejauh mana peningkatan pendapatan diikuti peningkatan kuantitas dan kualitas pangan produk peternakan yang dikonsumsi.

(Sumber: fapet.ugm.ac.id)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *