PARE: Dari Senduro, Lumajang, Keripik Pare Naran Jadi Cita Rasa Baru, Menembus Negeri Jiran

Senduro menyimpan limpahan hasil pertanian yang kerap luput dari sentuhan inovasi. Pare dan jamur tumbuh subur, namun lebih sering dijual mentah

Keripik Pare yang Renyah Khas Lumajang (Sumber: portalberita.lumajangkab.go.id)
banner 120x600

Lumajang, AGRINEWS – Dari sebuah dapur sederhana di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, suara minyak mendesis dari wajan kecil berpadu dengan aroma pare yang digoreng perlahan.

Dari ruang sempit dan peralatan seadanya itulah, sebuah kisah ketekunan lahir, mengalir pelan namun pasti, menuju panggung yang lebih luas.

banner 325x300

Dapur itu menjadi saksi perjalanan Nur Sulihati, seorang perempuan yang tak pernah membayangkan karyanya akan melampaui batas kampung.

“Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Awalnya hanya ingin pare di rumah tidak terbuang sia-sia,” ujarnya di rumah produksinya (23/12/2025).

Bagi Nur, pare bukan sekadar sayuran pahit yang sering dihindari.

Ia justru melihatnya sebagai kekayaan rasa dan manfaat.

“Pahit itu bukan musuh. Kadang justru di situ manfaatnya,” katanya sambil tersenyum.

Senduro menyimpan limpahan hasil pertanian yang kerap luput dari sentuhan inovasi.

Pare dan jamur tumbuh subur, namun lebih sering dijual mentah.

Dari situlah, Nur membaca peluang sederhana bagaimana mengolah hasil desa agar bernilai lebih bagi warga.

Keberanian untuk mencoba, lahir dari pertanyaan yang sederhana pula.

“Kalau orang belum suka pare, mungkin karena belum diolah dengan cara yang tepat,” ungkapnya.

Pertanyaan itu menjadi titik awal eksperimen panjang di dapur kecilnya.

Perjalanan awal, tentu saja tidak mudah.

Keripik pare buatan Nur kerap pahit berlebihan, keras, bahkan cepat melempem.

“Sudah berkali-kali gagal, rasanya ingin berhenti,” kenangnya.

Namun kegagalan itu, justru mengajarkannya kesabaran.

Alih-alih menyerah, ia menjadikan dapurnya ruang belajar.

Racikan tepung diubah, teknik perendaman diperbaiki, dan suhu penggorengan disesuaikan.

“Hampir setiap gagal, saya bilang ke diri sendiri, mungkin belum waktunya berhasil,” ucap Nur.

Kalimat sederhana itu menjadi penguat di tengah letih dan ragu.

Hari-hari panjang di depan wajan, akhirnya berbuah hasil.

Pare yang sebelumnya pahit dan alot, berubah menjadi keripik yang renyah, gurih, dan ringan.

Lebih dari itu, produk tersebut memiliki daya simpan yang baik, tanpa tambahan bahan pengawet.

Dari titik itulah lahir merek “Naran”.

Nama yang sederhana, namun sarat makna perjuangan.

“Saya ingin namanya mudah diingat, seperti prosesnya yang sederhana tapi jujur,” imbuhnya.

Tidak berhenti pada pare, Nur kemudian mengolah jamur.

Keputusan itu bukan tanpa alasan.

“Di desa banyak petani jamur. Kalau bisa dipakai bersama, kenapa tidak,” tuturnya.

Bahan baku jamur diambil langsung dari warga sekitar.

Bagi Nur, usaha kecil tidak boleh berdiri sendiri.

“Kalau usaha ini hidup, saya ingin tetangga juga ikut merasakan,” harapnya.

Keripik pare dan jamur “Naran” dipasarkan dengan harga yang terjangkau.

Penetapan harga dilakukan dengan hati-hati agar tetap seimbang antara keberlanjutan usaha dan daya beli masyarakat.

Meski begitu, pemasaran kerap menemui tantangan.

Produk lokal tidak selalu mendapat tempat.

“Kadang orang lebih percaya yang dari luar, padahal belum tentu lebih baik,” ungkap Nur.

Kepercayaan diri itu perlahan tumbuh, seiring hadirnya pelanggan setia.

Ada yang rutin membeli untuk orang tua, ada pula yang memesan khusus karena merasakan manfaatnya.

“Kalau sudah cocok, biasanya mereka kembali,” katanya.

Keripik “Naran” kemudian dibawa para perantau sebagai oleh-oleh ke kota-kota besar.

Dari cerita ke cerita, nama Senduro ikut menyertai setiap kemasan yang berpindah tangan.

Bahkan, produk rumahan itu akhirnya menembus Malaysia.

Negeri jiran menjadi saksi, bahwa usaha kecil dari desa mampu menembus pasar luar negeri.

“Saya sendiri sempat tidak percaya,” ujar Nur sambil tertawa kecil.

Dari dapur kecil di Senduro, rasa pahit pare menjelma menjadi kisah manis tentang ketekunan.

Setiap kemasan bukan hanya camilan, melainkan cerita tentang keberanian memulai.

Bagi Nur, perjalanan ini belum berakhir.

Ia berharap, hadirnya ruang singgah dan etalase produk lokal dapat membuka peluang lebih luas.

Ia membayangkan suatu hari, Senduro dikenal tidak hanya dari hasil pertaniannya, tetapi juga dari kreativitas warganya yang tumbuh dari rumah-rumah sederhana.

(Sumber: portalberita.lumajangkab.go.id)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *