Tangerang Selatan, AGRINEWS – Potensi peningkatan omzet dua kali lipat lebih tersebut diungkap Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat M. Sinaga dalam workshop jurnalis bertema “Kolaborasi Media dan Pelaku UKM Sawit Untuk Indonesia Emas 2045” di Tangerang Selatan, Banten (23-24/10/2025).
Workshop yang digelar Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), DMSI, dan dua perusahaan sawit tersebut menampilkan empat pembicara dan dihadiri 50 jurnalis.
Bentuklah Koperasi
Sahat memaparkan kalkulasinya, dengan luas kebun sawit mencapai 16,38 juta ha, pada 2024 Indonesia memproduksi 48,1 juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil-PKO) 4,6 juta ton, jadi total 52,7 juta ton.
“Dari luas yang sama, saya perhitungkan, dan di sinilah peran UKM, saya yakin kita bisa mencapai 98 juta ton pada 2029,” ujar alumnus Teknik Kimia ITB yang mengenal industri sawit sejak 1972 itu.
Untuk mencapai target itu, dia mengusulkan lima hal. Pertama, aktifkan PT Agrinas Palma Nusantara (BUMN perkebunan sawit). Kedua, selesaikan mengenai hukum dan legalitas lahan-lahan kebun yang ada di kawasan hutan, bebaskan dari hutan, supaya bisa disertifikasi.
Ketiga, lakukan sertifikasi sesuai kaidah Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) sehingga produk kita diterima pasar global. Keempat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional harus kerja keras untuk membereskan masalah Hak Guna Usaha (HGU).
Kelima, petani harus secepatnya membentuk koperasi modern yang dikelola para profesional. “Petani jangan jadi pengurus karena ada conflict of interest,” tegasnya. Untuk mengelola kebun seluas 6,2 juta ha, setelah dikurangi yang diambil Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sekitar 600 ribu ha, paling tidak butuh 1.158 koperasi. Tiap koperasi mengelola sekitar 5.400 ha.

Produksi DPMO dan Karbon
Untuk mendongkrak produktivitas kebun yang kini rata-rata hanya 9,3 ton mnjadi 26 ton tandan buah segar (TBS)/ha/tahun, kebun perlu diremajakan. Tanaman tua dan tidak produktif diganti bibit unggul. Tentu saja petani wajib menerapkan manajemen kebun terbaik.
Koperasi jangan lagi menjual TBS ke perusahaan besar, melainkan ke pabrik kelapa sawit (PKS) milik sendiri. PKS dibangun di dekat kebun petani agar ongkos distribusinya rendah. Mesin-mesin pabrik diusahakan buatan lokal. Kapasitasnya tidak harus besar, cukup 20 ton TBS/jam. Atau bisa juga koperasi mengupayakan kerja sama operasi (KSO) dengan perusahaan besar tetapi dipastikan memiliki saham.
“Kita juga berinovasi. Teknologi pengolahan TBS tidak lagi menggunakan wet processing (pengolahan basah) seperti sekarang, tapi dry processing (pengolahan kering) yang menghasilkan emisi karbon lebih rendah,” ulasnya.
Hitungan Sahat, biaya pembelian mesin-mesin membutuhkan dana sebesar Rp128,3 triliun dan biaya peremajaan kebun selama enam tahun Rp171,2 triliun. Total Rp353 triliun.
“Duitnya dari mana? Pemerintah masih butuh duit untuk kegiatan lain. China tertarik untuk membeli karbon dari kita karena mereka penghasil karbon tertinggi di dunia,” jelas Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini.
Inovasi dalam pemasaran pun diperlukan. “Kita tidak lagi memproduksi CPO. Dengan teknologi pengolahan baru, kita relaunch CPO menjadi Degummed Palm Mesocarp Oil (DMPO). Saya bilang ke pihak China, harganya 15 dolar lebih tinggi daripada CPO. Untuk petani, harga TBS di atas harga Dinas Perkebunan setempat. Dengan begitu, petani semangat. Berjayalah petani kita,” tuntas tokoh senior industri sawit tersebut.
















